Gmb: |
Aku malu bercerita tentang Alisa. Tapi mau gimana lagi. Aku harus ungkapkan. Soalnya pikiranku sudah tak muat untuk terus memendam perasaan-perasaan yang aku sendiri sulit untuk meng-qiyas-kan. Entahlah, aku tak tahu, apa yang sedang aku rasakan saat ini. Rasanya tak sama dengan rasa garam, cabai, bahkan gula. Lebih mirip rasa? Ah?! Aku bingung.
Ini bermula sejak satu tahun yang lalu. Saat Alisa dan keluarganya pindahan dari Istanbul, Turki. Ibunya bernama Ameena Kurchova. Ia adalah perempuan jangkung warga Turki yang aku sendiri tak habis pikir, kok mau-maunya menikah dengan Kang Haji Burhan. Seorang Indonesia yang pendek, penduduk asli sini, sebagaimana pendeknya aku dan orang-orang Bandung Barat lainnya.
Alisa, adalah orang yang pada mulanya ngomong wacemew-macemew. Aku gak ngerti. Tapi, setelah satu tahun, akhirnya ia bisa berbicara bahasa sunda sebagaimana bapaknya.
"Hai Alisa," kataku ketika Ia datang.
Ia masih nampak cantik. Wajahnya tetap bersinar. Berkerudung putih dengan memakai baju batik khas seorang siswi SMA Negeri 1 Cililin.
"Hai Odet," katanya dengan senyum bercampur madu.
Namaku Steven Gibran. Tapi itu nama impian yang tidak pernah tercapai. Karena nama asliku masih tetap Sidik Sawali. Tapi itu pun sekedar nama asli. Soalnya teman-temanku biasa memanggilku dengan sebutan Odet. Sebuah nama yang dinisbatkan terhadap codet yang ada di pipiku. Sebuah codet berbentuk silang mirip hurup X seperti codetnya Kenshin Himura.
Kemudian aku berdiri. Bersiap menghampiri Alisa yang entahlah. Pokoknya entah kenapa aku tiba-tiba ingin menghampiri Alisa. Mungki ini tentang insting seorang lelaki.
"Alisa, sini!" Kata Randi yang tiba-tiba datang. Ia nyerobot dan langsung memegang tangan Alisa dan menuntunnya pergi keluar kelas. "Aku mau nunjukin sesuatu padamu," lanjutnya.
Aku langsung celong melihat kejadian ini. Celong adalah bahasa sunda. Bahasa indonesianya aku juga tak tahu. Pokoknya aku langsung merasa hampa ketika melihat Alisa diserobot dan dituntun oleh Randi.
Memang, memang, Alisa dan Randi saat ini lagi naik daun digosipkan berpacaran oleh teman-temanku yang lain. Tapi aku gak percaya. Aku tidak yakin kalau keduanya berpacaran. Secara, Alisa adalah perempuan baik-baik yg cerdas serta gak neko-neko. Masa iya ia berpacaran dengan Randi yang merupakan Gank Motor. Seorang anak Band metal pula. Dandanannya gaul teu puguh. Walau Randi lumayan ganteng sih.
Tapi Entahlah, kadang aku sering panas juga terhadap mereka. Soalnya dari dulu, masalah cinta, wanita sering lupa logika. Dan bisa jadi itu pun terjadi pada Alisa. Kalau aku diemin terus kaya gini, Alisa dan Randi bisa benar-benar jadian. Aduh lieur aduh.
Secara, sejarah membuktikan, Anak-anak gahol kebanyakan pacarnya kok perempuan yang cantik-cantik dan baik-baik. Entah ditaruh dimana logikanya disini. Malah, laki-laki yang pinter serta kutu buku gitu, paling deketnya cuma sebatas temen.
Gustiii, apakah benar, para wanita kalau sedang mencintai mengerahkan perasaannya secara full? Meninggalkan logika hingga logikanya jadi dongkol. Duh, Atuh gimana entar? Pedahal laki-laki, meskipun mereka sedang mencintai, logika tetap jalan.
Jika sebuah perasaan dilawan logika, jelas menang logika atuh. Nanti gimana kalau sudah kaya gitu? Bisi dimain-mainin ih kaya main Pe-es. Ah!?
Lebih baik aku menyusul Alisa. Daripada terlambat. Cinta memang butuh perjuangan. Cinta memang harus di perjuangkan. Karena manusia pada dasarnya berdiri diatas labuhan cinta. Bersemi dalam kobaran asmara.
Aku pun beranjak, sedikit lari. Biar bisa menyusul Alisa dan Randi.
"Intadzirii! Alisa," kataku dengan bahasa arab. Alisa memang orang Turki, tapi ia bisa berbahasa arab. Nenek moyangnya adalah keluarga masyaikh kerajaan Turki Utsmani yang menjadi penasihat para khalifah. Dan sampai saat ini, tradisi keilmuan keluarga Alisa memang masih dipertahankan, meski kerajaan Turki Utsmani hampir berlalu seratus tahun yang lalu.
"Ya.. Aiwa.. Hal yumkinu an usaa'iduk?"
"Haa, ana uriidu an uhawira syai-an muhimman ma'ak," kataku.
"'An ayyi syai-in?"
"Sa uhkbiruki, lakin mafi hadzal makan."
"Ittabi'iyy biy," kataku yang kemudian memegang tangan Alisa.
"Heh!" Tiba-tiba Randi menghardik.
"Apa?" Kataku.
"Alisa mau jalan sama gua! Settan!"
"Ajig! Apa lu? Emang Alisa siapanya lu?" Kataku melawan. Meski aku sadar, lelaki yang siap perang demi cinta sebenarnya bukan ranah logika. Bukan juga tentang rasa. Melainkan harga diri yang mesti dijaga. Dan cinta yang mesti dibela.
"Alisa pacar gue. Settan!" kata Randi dengan nada suara diatas angin.
"Iya gitu?" tanyaku yang kemudian langsung menatap Alisa.
"Iya!" Jawabnya tegas sambil menepiskan tangannya dari genggamanku.
Keduanya menatapku. Mata Alisa menatap salah. Sedangkan mata Randi menatap sadis. Namun keduanya terlihat hawa penuh kepuasan. Kemudian mereka pun langsung pergi. Berlalu sambil pegangan tangan. Meninggalkanku penuh keterpurukan.
Jlebbb! Dor dar gelap hatiku sosorodotan. Kilat-kilat menyambar memenuhi langit rasaku. Kegetiran langsung menyelimuti sekujur tubuhku. Kakiku terasa lunglai tak kuasa menumpu seluruh badanku. Aku roboh diatas lantai. Meratapi pahitnya kenyataan yang lebih pahit dari rasa jus patrawali.
Jika saja hujan turun. Aku lebih mengharapkan itu. Agar air mata ini tak terlihat dibalik derasnya hujan.
Dunia tak perlu tahu rasa sakit ini. Rasa sakit ibarat sayatan silet tiger yang masih weteuh. Pedih. Dan terasa berdarah-darah. Hingga aroma kepedihannya bisa tercium oleh penduduk langit dan bumi. Namun nampak jijik.
Jika pun aku mati disini, tak ada satu anjing pun yang mau memakan bangkaiku. Bangkai seseorang yang mati karena kekejaman cinta. Terasa hina dan menjijikan. Hampir serupa dengan najis mugholadzoh. Oh, betapa malangnya nasibku. Ternyata benar apa yang dikatakan Fat Kai, "Dari dulu begitulah cinta, deritanya tiada akhir."
"Hai, Odet, lagi apa?" Kata sesorang yang terdengar menyapaku dari belakang. Suaranya terdengar lembut, merobohkan paceklik yang sedang kurasakan saat ini.
Aku memalingkan tubuhku. Berusaha melihat siapkah gerangan yang suaranya bagaikan fenomena keindahan. Dan,
Hiliwirrrrrrrr... Seperti ada kipas angin menerpa saat aku melihatnya. Terasa Sejuk. Apa yang kulihat saat ini begitu indah.
"Hei, kenapa bengong?" Tanyanya.
"Salis?" Kataku.
"Hehe, iya. Gimana kabarmu?" Katanya.
Salis adalah aroma keindahan. Ia adalah gadis gunung halu yang memang sudah terkenal baik-baik dan cantik-cantik. Namun lebih dari itu, salis punya sesuatu yang beda, yang membuatnya bukan sekedar gunung halu pada umumnya.
Satu tahun yang lalu, ia mendapat beasiswa untuk studi di Jepang. Semenjak itu, aku sudah tidak melihatnya lagi. Namun kini ia hadir di depan bola mataku. Dengan seragam yang sama denganku.
Yang aku ingat dari Salis adalah, dia merupakan gadis pencinta Shalawat. Berbeda dari gadis pada umumya yang sukanya ko-korea-an. Atau jerit-jerit neriakin boyband. Salis adalah gadis yang pinter, cantik dan baik. Habib Syech adalah idolanya. Pun Ust Jefri Al-Buchori, Hadad Alwi Mayada, Sulis, Wafiq Azizah, dan lain-lain.
Setahuku, ia juga adalah perempuan yang aktif bersosialisasi. Beda dengan perempuan lainnya yang cuma bisa bedakan dan jalan-jalan pakai payung takut kepanasan. Salis itu aktif berorganisasi. Ia tergabung di Front Pembela Islam. Keren.
Aku pernah nanya padanya, "kenapa ikutan FPI?". Dia jawab, "karena Habib Riziq pinter bershalawat, hanya itu alasanku." Katanya.
Aku nanya, "Emang shalawat yang mana?"
Rohatil Athyaaru Tasyduu
"Burung-burung mengudara bernyanyi"
Fi layaalil maulidi
"Di malam kelahiran Baginda Nabi"
Wa bariiqu nnuuri yabdu
"Dan kilatan cahaya nampak jelas"
Fi ma'aani ahmadi
"Memaknai pujian, Ahmad"
Ya, itulah Salis. Gadis yang suka bersholawat. Tapi disini ceritaku tak akan heroik membahasnya. Karena ia akan kuceritakan dalam sebuah cerpen. Tidak dalam postingan singkat seperti ini. Tunggu aja. Baca lagi cerpen Gadis Kentut Dari Telinga.