"Mamah tahu? Dulu Papah pernah digigit Monster." Kataku pada istriku yang nampak telah faham untuk menjalankan politik rumah tangga.
"Benarkah?" Tanya istriku keheranan.
Kutahu pertanyaannya kosong belaka. Karena sebenarnya ia hanya berpura-pura. Hanya acting belaka untuk sekedar memainkan setting suasana.
"Beneran, Mah!" kataku. "Nih lihat!" lanjutku sambil menunjukan tanda hitam didengkul untuk menambah rasa heroik cerita. (Sebenarnya itu bukan bekas gigitan monster, melainkan bekas bisul, Tapi tak apa)
Kulihat istriku seperti ingin tertawa. Namun segera kuberi tanda lewat kerlipan mata. Kuharap ia bisa menahan tawanya. Karena nampaknya, si Aa dan si bungsu sudah mulai tertarik untuk mendengarkan cerita. Ya, mudah-mudahan. Semoga mereka tertarik! Dan tentunya mereka akan mengakhiri permainan game yang sudah terlalu lama mereka mainkan.
"Begini, dulu sekitar tahun 2014, waktu zamannya papah kuliah, Papah pernah digigit monster dikawasan Ciwidey," kataku.
"Ih, Papah kasihan banget.." Kata istriku sambil mengelus-elus bagian dengkulku.
"Cium dulu papah, Mah! Biar enggak sakit.." kataku yang sedikit mengambil kesempatan.
"Muachh!" Istriku langsung mendaratkan sebuah ciuman dipipiku. Ia tersenyum jutek. Nampaknya ia faham bahwa aku mengambil sedikit kesempatan.
"Dulu.. Monsternya itu sebesar tutup limun!" kataku dengan nada serius.
"Iya gitu? Masa kecil?" kata si Aa yang mulai terpancing dan tidak konsen bermain game.
"Iya. Kok kecil?" kata si Bungsu yang juga ikut menimpali.
"Kata siapa kecil? Besar kok!" ujar istriku membela. "Jaman dulu, sekitar tahun 2014, botol limun itu ukurannya besar-besar! Gede! Ya... Mungkin segede bus modona direngkep tiga!" ujarnya lagi.
"Iya, A!" kataku meyakinkan. "Jadi tutup limunnya juga gede-gede! Mungkin segede anak gajah usia satu tahun, direngkep tiga!" lanjutku.
"Ihhh! Gede banget!" kata Sibungsu sambil menengok kearah kami.
"Sini geura! Papah mau ceritain sama kalian! Tutup dulu gamenya!" kataku dengan nada serius seolah-olah apa yang akan aku ceritakan adalah peristiwa besar.
Kemudian si Aa dan si Bungsu segera menutup gamenya. Mereka berlari menuju kearah kami. Si bungsu lantas duduk dipangkuan Isriku, sedangkan si Aa duduk ditengah diantara aku dan istriku. Kita semua berada diatas sofa.
Kemudian akupun bersiap-siap memulai cerita. Namun terlebih dahulu melirik kearah Istriku. Kulihat dia tersenyum manis. Matanya berbinar. Seolah-olah menunggu kekonyolan apa yang akan aku ceritakan pada anak-anaknya.
"Gini!" kataku."Sebelum Papah menceritakan monster yang pernah menggigit papah, Papah mau bercerita tentang kisah sakadang kuya dan sakadang monyet terlebih dahulu." ujarku.
Lantas aku mengeluarkan uang kertas lima ratus rupiah keluaran tahun 90-an. Uang yang masih aku koleksi sampai saat ini. Uang yang dulu pernah jaya di eranya.
"Dulu.." Kataku dengan nada serius.
Nampak istri dan kedua anakku menyimak dengan seksama.
"Dulu.. mamah sebelum menikah dengan papah, ia pernah pacaran dengan makhluk ini!" kataku sambil menunjuk sosok gambar yang ada pada uang kertas tersebut.
"hahahahah.." si Aa dan si Bungsu tertawa geli.
"Ih nyebelin!" kata Istriku sambil mencubit-cubit pinggangku.
"Bercanda ih.. cuma Bercanda..!"
"Papah jahat!" Kata istriku lagi.
"Bercanda sayanggg!" kataku merayu.
***
"Aa.. Ade.. Ayo cium mamah sama-sama!" kataku menyuruh pada kedua anakku yang masing-masing berusia enam tahun dan empat tahun.
Lantas kedua anakku segera mencium ibunya. Satu dipipi kiri, dan satu dipipi kanan. Lantas aku bingung, harus mencium dibagian mana? Ah! Aku kehabisan tempat.
Kemudian kusuruh kedua anakku untuk segera bergegas mengambil air wudlu. Ya, kita sama-sama berjama'ah isya.