Sejenak nalarku menerawang pada suatu ketika yang telah lalu. Pada masa yang pernah aku lewati. Ya, Dago 11 Januari 2008.
Dago sore itu terasa menyala. Kunikmati panorama Bandung dengan segala pernak-pernik keindahannya. Sudut-sudut kota tergambar nyata. Seolah menunjukan bahwa inilah cempaka di Jawa, Pariz Van Java.
Betapa kontras dengan kampung halamanku di Rongga. Di dago, semua sudah nampak besi dan bata. Aspal memanjang memanjakan para musafir jalanan. Mall Mall menjulang seakan berhasrat mencolek langit.
Mojang-mojang ayu berlenggok. Para jejaka melongok.
Di Dago. Kou tak akan menemukan kumpulan kaum hawa menenteng kitab menuju pengajian. Kou tak akan menemukan kaum adam bersarung bergerombol. Kou tak akan pernah menemukan ibu-ibu ngaramet disana. Begitupun kou tak akan merasakan indahnya ngagasrok. Kecuali semua hanya fantasi. Kou bermimpi jika itu terjadi.
Aku sarankan! Di Dago, Kou jangan coba-coba menggiring puluhan kambing seperti apa yang aku lakukan dulu. Kou jangan coba ngarit mencari rumput. Please! Percayalah! Untuk kali ini saja.
Dengan berkacamata hitam, aku susuri jalanan panjang di Dago. Jalanan yang nampak ramai oleh para penikmat nuansa Dago. Tentunya sambil berjalan kaki. Lebih asik. Lebih bergairah.
Perbedaanya, antara aku dengan para penikmat dago lainnya hanyalah sebuah gerobak mie ayam. Gerobak yang selalu menemani jalan-jalan sore ku. Gerobak yang aku dorong di sepanjang jalanan dago.
Ya, begitulah. Aku adalah Ariel. Kou pasti tahu? Iya kan? Sip! Aku adalah tukang mie ayam yang biasa nongkrong di sepanjang jalanan dago. Ya, seperti biasa, kou akan menemukan aku setiap sore pukul empat. Dekat Plaza yang gede ini. Nih lihat! Gede kan?
Sebenarnya, baru satu bulan aku jualan mie ayam di dago. Sebelumnya, aku berjualan di Gunung Halu. Dekat Mts Cijambu. Kou pasti tahu tempat itu. Iya kan? Mudah-mudahan kou tahu. Karena tidak sedikit dari teman-temanku yang mencari peta ketika aku ucapkan Gunung Halu.
Kou tahu Liang Meong? Itu adalah rumahku. Karena aku memang bersarang disana. Disebuah daerah perkampungan yang ada di Gunung Halu. Tapi jangan kou pikir aku meong ya! Please! Itu hanya nama kampungku saja.
Aku senang berjualan mie ayam di Dago. Mie ayam yang aku jual seharga empat ribu justru laku diserbu. Para pembeli bilang, mie ayam yang aku jual itu, kemurahan. Tapi anehnya tidak murahan. Itu pendapat mereka. Beda dengan pelangganku di Gunung Halu. Selalu saja ada cara bagi mereka untuk mensiasati daganganku.
***
Waktu mulai menunjukan pukul lima sore. Sudah beberapa pejalan kaki dan pengendara motor menghampiri gerobak mie ayamku. Namun tidak sampai seramai kemarin. Sore ini, pembeli cenderung sepi hingga membuatku lebih banyak melamun mengisi kekosongan.
Eh! Lihat itu! Ada yang datang. Gadis-gadis berkerudung yang nampak modis. Usianya nampak sepadan denganku. Wuihh!
"Mang ayam! Bikin enam mangkok!" kata yang berkerudung merah muda.
"Mang jiga hayam, eta damis atanapi mangkok" timpa yang berkerudung kuning.
Kemudian kudengar gelak tawa dari teman-teman yang lainnya. Aku sendiri hanya tersenyum menyikapi candaan garing mereka.
"Teu kengeng nganggo mangkok nya mang! Nganggo cinta we!" sahut yang lain sembari menggoda. Mereka nampak asik bercanda. Namun aku masih saja diam. Aku segera menyiapkan mie ayam buat mereka. Kusuruh mereka duduk dengan rapi di bangku yang telah aku sediakan.
Sejenak, kudengar mereka asik mengobrol. Dari perbincangannya, kuketahui mereka adalah mahasiswi Unisba yang baru saja pulang seminar. Salah satu dari mereka tertawanya seperti kunti, itu saja mungkin.
"Hihihi,"
"Ekekeke,"
"Gakgakgak,"
"Buahaha"
***
***
Entah apa sebabnya, tiba-tiba, aku dikagetkan dengan suara banyak orang dari sebrang jalan yang berteriak 'Maling! Maling!'. Ya, kulihat ada orang berlari kopat kepot lantaran dikejar oleh orang-orang yang ada di belakangnya.
Anehnya, ia berlari menuju ke posisi dimana aku dan pelangganku berada.
"Brakkk.." gerobak mie ayamku ditubruknya. Aku sampai jatuh terpental ke tanah. Tertindih oleh gerobak mie ayam. Seketika itu pula terdengar jeritan-jeritan histeris dari berbagai arah.
Aku meninggal saat itu juga. Dimakamkan entah dimana. Aku kurang tahu. Soalnya disini gelap. Mengerikan. Dan kurasa kou tahu itu.
Disini tidak ada lampu. Gelap, pekat, dan pengap. Aku sendirian, kesepian, kegerahan. Cacing-cacing menggerogoti tubuhku. Gundukan tanah terus saja menghimpitku. Aku kesakitan. Aku kedinginan. Aku ingin berteriak namun tidak bisa. Mulutku dipenuhi dengan ulat.
Aku menangis. Beneran! Aku menangis.
Kou mungkin tidak pernah tahu dan tidak pernah berpikir tentang kondisi seperti ini. Kondisi dimana inilah kehidupan seseungguhnya. Kou belum mencoba. Tapi nanti kou akan mencoba. Aku yakin itu.
Disini, aku ingin segera keluar. Aku ingin kabur. Tapi aku tidak bisa. Dan tidak akan pernah bisa. Karena setahuku, ini adalah tempat yang penjagaannya begitu ketat. Begitu tegas.
Jika kou hidup didunia mampu mencapai seratus tahun. Maka kou hidup disini akan selamanya. Beneran!
Orang-orang yang hina sepertiku, semua akan merasa kepanasan. Tercekik dengan siksa Tuhan. Arrggghhhhkk! Panasss!!!
Beda dengan mereka yang ada disana! Lihat! Bukan yang itu! Yang ada disebelah sana! Itu! yang kediamannya terang. Kamu lihat? Ia nampak segar. Wajahnya tersenyum.
Ia adalah orang yang gak neko-neko. Hidupnya dunia biasa saja. Lihat! Cuma karena menjalankan shalat lima waktu dia bisa mendapatkan cahaya. Yaa laitanie kuntu turooba!!!
#Semoga kita dijadikan orang-orang yang khusnul khotimah.. Diberkahi dan diterangi.. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita..
Amin..