TENTANG

Berita Terkini

Bola

ShowBiz

Bisnis



Topik Populer

Featured

Liputan9

Liputan9
Liputan9

KAJIAN ISLAMI

KATEGORI

Berita Terbaru

NAHDLATUL ULAMA

Follow Us

banner here

KONTEN TERBARU

TREN HARI INI

Codet dan Naila

Ternyata, sudah ada cicak di secangkir kopi yang kuseduh tiga puluh menit yang lalu. Mungkin aku lengah tidak menjaga kopinya. Hingga keburu diserubut cicak.
Apa aku harus menyeduh kopi yang baru? Mungkin harusnya begitu. Sayangnya tidak ada lagi kopi cadangan yang bisa kuseduh. Atau mungkin kuseruput saja kopi yang ada cicaknya itu? Kucemil sekalian dimulut beserta cicaknya? Sayangnya aku tidak seberani itu. Tidak se-ekstrim itu. Biarpun aku adalah seorang preman yang biasa nongkrong di terminal, tapi aku masih punya etika dan rasa jijik jika harus memakan cicak.
Tak apa, pagi tetap indah meski tanpa secangkir kopi. Biar kuganti dengan segelas air putih biasa. Dan kuharap meski hanya sekedar air putih, ini tetap akan menjadi amunisi untuk kelancaran aktifitasku. Aktifitas yang akan sangat melelahkan disepanjang hari ini. Aktifitas yang bukan sebagai pekerja kantoran. Bukan juga sebagai pekerja pabrikan. Melainkan pekerja jalanan.
Sudah hampir satu minggu aku mendapatkan pekerjaan sebagai tukang kencleng sekaligus pengatur lalu lintas disekitaran proyek perbaikan jalan antara Batujajar dan Cimareme. Biasanya aku bertugas mengatur arus lalu lintas agar tidak terjadi kemacetan. Semacam buka tutup jalan dan menjaga agar lalu lintas tetap kondusif. Atau bahkan, hanya mondar mandir sambil membawa kaleng bekas biskuit. Bukan makan biskuit. Melainkan meminta donasi dari para pengguna jalan untuk sekedar tambahan kopi dan rokok.
Namaku Zaki Syafii. Tapi itu adalah nama pemberian dari kedua orang tuaku yang tidak ada satupun teman-temanku yang tahu. Karena semua teman-temanku biasa memanggilku dengan sebutan Codet. Kalau pun bukan, paling aku dipanggil odet. Sebuah nama yang mewakili sebuah luka di pipi sebelah kiri. Yakni sebuah codet akibat goresan samurai saat aku berkelahi dulu.
Meskipun saat ini aku adalah orang yang terkenal sangar, tapi sebenarnya, aku adalah orang yang sepuluh tahun lalu punya cita-cita ingin menjadi Naruto. Untungnya itu hanyalah sekedar cita-cita. Dan kuharap tidak akan pernah kesampaian. Karena jika aku benar-benar menjadi naruto, apa kata dunia.
Pagi ini aku sudah siap berangkat ke tempat kerja, dijemput Wiguna. Wiguna adalah salah satu teman nongkrongku yang punya motor vespa sampah. Sejenis motor yang di modifikasi seperti sampah. Pokoknya acak-acakan. Rodanya yang semula dua dijadikan empat, dibentuk layaknya mobil. Namun tingginya sangat ceper, mepet ke aspal. Seluruh bodinya ditempeli sampah. Ada bekas botol mineral, bahkan botol alkohol. Ada panci hingga celana dalam. Semua ditumpuk. Diatasnya ada dua buah bendera bergambar tengkorak.
Perjalanan menuju tempat kerjanku tak terlalu jauh. Lumayan dekat. Mungkin sekitar dua kilometer jaraknya dari tempat tinggalku. Kami menyusuri jalanan dengan laju yang santai. Tidak tergesa-gesa. Atau mungkin karena vespanya hanya bisa melaju dengan kecepatan seperti itu.
Entah bagaimana mulanya. Ketika aku melintasi daerah citunjung, Tiba-tiba aku melihat sebuah kendaraan terjatuh tepat dihadapanku. Pengemudinya terlempar ke dalam selokan atau mungkin semacam got yang ada di pinggir jalan. “Haha..” Aku dan Wiguna tertawa.
Entahlah, seharusnya kami tidak tertawa melihat kejadian tersebut. Tapi mungkin memang inilah aku yang bukan aku kalau tidak tertawa melihat orang sedang kesusahan
“Ayo minggir dulu bro! Kita bantu!” kataku pada wiguna agar menepikan vespa sampahnya.
Kemudian Wiguna pun menepikan vespanya. Lantas kita menghampiri orang yang terjatuh tadi. Aku pura-pura perihatin dan menyembunyikan rasa geli akibat tertawa barusan.
“Kenapa, Kang?” kataku langsung bertanya pada orang yang sedang tersungkur di selokan. Namun ia tidak segera menjawab. Bahkan terlihat menangis.
Dan baru kusadari ternyata orang yang terjatuh tersebut bukan seorang lelaki. Melainkan sesosok perempuan. Aih? Aku langsung iba menyaksikan ini.  Tidak bisa dibiarkan. Perempuan adalah makhluk yang lemah dan perlu diijaga. Ia tidak boleh ditelantarkan saat sedang terpuruk.
“Eh, Teteh gak kenapa-napa?” kataku so sewot.
Namun ia tidak menjawab pertanyaanku. Melainkan masih saja menangis. Aku semakin bingung bagaimana cara menolongnya. Masa aku harus turun keselokan untuk membantunya bangun. Nanti aku bisa ikut kotor.
“Teteh? Kenapa?” tanyaku pura-pura perhatian. Sebenarnya aku enggan bila harus bantu ia bangun dari selokan.
“Eumhhh..” katanya dengan nada merengek. “Bau ee,” rengeknya lagi sambil kemudian melihat  kearah kami.
Dan, adawwwww! Aku langsung dilematis. Antara ingin tertawa dan menahan tawa. Aku melihat ada sesuatu berwarna kuning diwajahnya. Ngadungkuk.
“Hahahahahaha.” Akhirnya aku spontan tertawa. Tidak bisa kutahan.
“Iiiiiiiiihhh.. Eumeuuummmmmhh..” katanya dengan nada merengek setengah menangis.
Aku coba menahan tawaku. Biar ia tidak malu atau merasa tersinggung. Sebenarnya aku ingin kabur dari kondisi ini. Aku enggan menolongnya yang berlumuran dengan ehemm ehemm. Tapi, ya, duh! Harus bagaimana lagi? Aku tidak memiliki pilihan. Lagi pula tidak ada orang lain disekitaran sini. Masa aku harus tega meninggalkannya sendirian tersungkur di selokan? Kan biadab banget.
Dengan sedikit menahan tawa aku memaksakan diri untuk menolongnya. Kubantu ia untuk bangun dan naik dari selokan. Meski aku sendiri saat ini jadi ikut kotor. Bahkan ikut bau. Dan dengan sangat tepaksa aku membantunya membersihkan dan menghilangkan kotoran-kotoran yang ada ditubuhnya. Fenomenal.
Setelah menolongnya, aku berniat langsung pergi. Namun, sepertinya aku harus menolongnya lagi. Kulihat kondisinya sangat menghawatirkan. Nampak lemah dengan beberapa luka dan lecet. Ditambah kondisi motor yang sedikit bermasalah dan tidak stabil membuatnya tidak mungkin untuk dibawa sendiri. Kasihan juga jika aku tinggalkan. Alhasil, aku suruh wiguna berangkat ketempat kerja duluan. Dan aku mengalah untuk mengantarkan perempuan tersebut pulang ke rumahnya.
Disepanjang perjalanan. Aku dan gadis tersebut hanya diam. Tidak banyak kata-kata yang terucap kecuali hanya untuk sekedar bertanya arah rumahnya. Aku merasakan bau yang memuakkan. Bikin mual. Dan kurasa gadis yang kubonceng tersebut pun nampak mencium bau tersebut. Bahkan kurasa ia lebih bersensasi. Karena ia memang seperti mandi lumpur. Ditambah dengan sesuatu yang ngadungkuk tadi. Ah!
Dari raut dan sikapnya, kurasa ia sedang merasakan rasa malu padaku saat ini. Secara, dia adalah seorang perempuan. Kejadian tadi pasti akan sangat memberinya trauma rasa malu. Namun aku pura-pura woles biar ia tidak terbunuh dengan kemaluannya sendiri.
Setelah sekitar sepuluh menit melalui perjalanan, aku sampai disebuah rumah besar yang kata gadis tersebut itu adalah rumahnya. Aku sedikit kaget, ternyata gadis yang kutolong barusan adalah orang kaya. Ada rasa penyesalan dalam diriku. Kenapa aku membantunya barusan. Dia ‘kan orang kaya? Dan aku selalu alergi dengan orang kaya. Biasanya mereka selalu angkuh dan sombong terhadap orang-orang kecil sepertiku.
“Eh! Makasih ya,” katanya.
“Oh, Iya,” balasku.
“Maaf ngerepotin,” katanya.
“Enggak kok,” kataku.
“Itu bajunya jadi ikutan kotor dan bau.”
“Tak apa.”
“Mampir dulu kerumah. Biar bajunya diganti. Lagi pula dirumah ada beberapa pakaian pria. Mungkin cocok.”
“Ah, gak usah.”
“Ayo masuk dulu!” serunya.
Aku sejenak terdiam. Mungkin baiknya aku mampir dulu kerumahnya. Biar ganti baju. Lagi pula, bajuku saat ini memang kotor. Bahkan bau.
“Eummh. Yaudah. Ayo,” kataku.
Kemudian aku mengikutinya. Masuk kedalam rumah yang cukup megah. Kulihat ada seoarang ibu menghampiri dengan muka heran. Mungkin itu ibunya. Kemudian mereka nampak berbincang beberapa saat membahas kejadian yang baru saja terjadi. Lantas, si  ibu langsung memanggil seorang pembantu untuk membawakan handuk dan pakaian.
“Makasih ya, dek, telah menolong Naila,” ujar si Ibu padaku sambil tersenyum lembut.
“Oh, iya. Sama-sama, Bu,” balasku.
Tak lama, handuk dan pakaian pun datang. Aku langsung diarahakan untuk menuju sebuah kamar mandi. Maka selanjutnya, aku langsung bersih-bersih dari najis dan hadast. Mensteerillkan tubuh dari bau yang entah bagaimana caranku untuk menggambarkan baunya.
Setelah selesai, aku langsung keluar kamar mandi dan langsung menghampiri si Ibu yang sedang duduk di Sofa. Ia nampak tersenyum padaku. Sangat ramah. Beda dengan kebanyakan orang kaya yang sering kulihat.
“Gimana pakaiannya? Nyaman?” katanya padaku.
“Iya nyaman. Makasih, Bu!” jawabku.
“Itu pakaian alakadarnya. Kebetulan ayahnya Naila punya pabrik kecil-kecilan yang mem-produksi baju-baju pria.”
“Oh, Pantesan pakaiannya bagus.” Kataku memberikan apresiasi.
Kemudian, beberapa saat aku mengobrol dengan si Ibu yang merupakan ibunya? Eumh? Ibunya siapa tadi? Oh! Naila. Kami mengobrol kesana-kemari membicarakan tentang pakaian dan bisnis keluarga mereka. Aku sedikit kurang ngerti dengan bisnis. Namun aku berusaha untuk tidak memperlihatkan kecupuanku tersebut.
“Maaf bu, kayanya saya gak bisa lama-lama. Masih ada kerjaan,” kataku tiba-tiba.
“Eh, tunggu dulu sebentar! Kita makan dulu. Nunggu dulu Naila turun,” katanya.
Kemudian si Ibu langsung berdiri dan beranjak menuju arah tangga. Lantas ia langsung memanggil nama Naila untuk segera turun. Dan memang terdengar sahutan Naila dari lantai atas.
Tak lama, turun seorang gadis dari lantai atas. Kurasa dia adalah Naila. Namun bukan Naila yang tadi aku kenal. Bukan Naila yang berlumuran lumpur. Melainkan Naila yang sudah benar-benar menjadi manusia.
Aku sedikit terperanga dengan apa yang aku lihat. Satu kata yang muncul dalam pikiranku. Cantik. Seorang yang membuatku menyesal telah menertawakannya tadi. Seorang yang saat ini kukira adalah bidadari. Nampak lezat untuk dipandang. Matanya nampak menyaingi purnama. Tak ada lagi kabut air mata seperti sedu sedan yang ia tunjukan saat kutolong tadi. Rambutnya nampak terurai panjang dan lurus. Ada pitanya berwarna merah muda.
Aku tertegun dan tidak ingin melewakan pemandangan indah ini. Ujung kaki dan ujung rambut yang detailnya adalah ratunya para hawa.
“Hai!” katanya padaku.
“Hai!” kubalas dengan kata yang sama.
Kulihat seperti masih ada rasa malu darinya padaku. Mungkin kejadian tadi masih ada bekasnya. Kejadian dimana ia dilumuri lumpur dengan hiasan kuning ngadungkuk. Tapi kurasa itu tidak mengurangi pesona perempuan secantik dia. Dan itu manusiawi.
“Makan dulu ya!” katanya.
“Enggak ah,” kataku.
“Gak apa-apa kok. Makan dulu aja!”
“Aku sudah sarapan.” Kataku.
“Eumh..” ia hanya bergumam dan nampak tidak enak padaku. Mungkin ia ingin membalas budi baikku karena telah menolongnya tadi.
“Oh, Iya,” kataku tiba-tiba. “Kalau bisa sih, aku ingin dibikinin kopi panas,” lanjutku.
“Eumh, ada. Tunggu sebentar! Aku bikinin dulu,” katanya.
“Kopi gula dan susu. Gak pakai cicak, apalagi pakai rebus Naruto,” tambahku.
“Haha. Apaan sih? Aku gak ngerti.”
“Enggak. Bercanda,” kataku sembari mengingat-ingat kopiku yang tadi pagi diserubut cicak.
Kemudian ia pun membuatkanku secangkir kopi. Tidak terlalu enak sih. Mungkin karena ia sendiri bilang katanya ia tidak biasa membuat kopi. Masih enakan kopi bikinan Mak Jijah, tetanggaku yang merupakan pedagang jamu gendong. Tapi cukup kuhargai. Bukan masalah enak atau tidaknya, melainkan niat tulusnya yang telah mau membuatkanku secangkir kopi.
Sejenak kita ngobrol-ngobrol. Semacam berkenalan. Karena dari tadi sebenarnya kita belum berkenalan. Ternyata dia adalah seorang manusia yang bernama Naila. Nama lengkapnya Naila Fatima. Seorang yang merupakan mahasiswi jurusan sastra dan bahasa disalah satu perguruan tinggi di Bandung. Dan si ibu yang tadi adalah ibunya, namanya Bu Lina. Seorang yang menurutku sangat baik dan ramah. Sedangkan ayahnya, saat ini sedang tidak ada dirumah. Katanya sedang kerja di kantor.
Akupun mengenalakan diri padanya. Kubilang, namaku codet. Aku adalah seorang preman. Pekerjaanku adalah sebagai tukang kencleng di jalan.
“Hahaha.” Ia malah tertawa mendegar perkataanku. Apakah karena pekerjaanku ini lucu? Tapi kurasa tidak. Malah terdengar seram. Lantas  kenapa ia tertawa?.
“Masa sih? Iya gitu kamu preman? Aku gak percaya,” katanya.
“Serius!” kataku dengan nada meyakinkan. “Nih lihat! Ada bekas sabetan samurai di pipiku. Ini bekas perang,” kataku lagi.
“Kok gak kewajahan ya?”
“Masa sih?” kataku balik heran.
“Iya,” katanya.
Aku sedikit kecewa mendengar ucapannya. Masa dia tidak percaya bahwa aku adalah seorang preman. Pedahal aku sendiri cukup bangga dengan statusku yang disegani oleh beberapa orang.
“Eh, aku pulang ya. Soalnya masih ada kerjaan. Sudah telat,” kataku.
“Lho? Bukannya kamu preman? Masa punya kerjaan? Haha, aneh,” katanya.
“Kan sudah aku bilang. Aku ini adalah tukang kencleng di jalan.”
“Hahaha. Ih lucu.”
“Yawdah kalau gak percaya,” kataku dengan raut ketus.
“Eh, aku minta nomor kamu!” pintanya.
“Iya,” kataku.
 Kemudian aku memberinya nomor hapeku. Setelah itu aku bergegas pulang. Maksudnya, bergegas berangkat ke proyek perbaikan jalan. Naik angkot.
***
Dua hari berlalu. Saat ini aku sedang di pinggir jalan. Masih sibuk dengan buka tutup jalan. Mengatur lalu lintas agar tetap berjalan lancar.
Dilangit, ada terik mentari. Namun sebuah syal dengan gambar tengkorak terbelit di kepalaku. Hingga tak terlalu kurasakan sengatan ganas terik mentarinya. Satu buah telepon genggam ku tenteng untuk berkomunikasi dengan rekanku yang bertugas diujung jalan berlainan.
“Gun! Tolong gantian!” kataku menyuruh Wiguna untuk menggantikanku menunggu dan mengatur pembatas buka tutup jalan.
Kemudian aku mengambil sebuah kaleng bekas biskuit. Berjalan menghampiri penggguna kendaraan satu persatu. Ada yang ngasih receh, ada pula yang berbaik hati ngasih uang lembaran. Namun tidak jarang juga ada yang hanya memberi sebatang rokok. Namun apapun yang diberi, selagi itu bisa dijadikan amunisi, selalu aku terima.
“Eh?” kata seorang pengguna toyota yaris padaku.
Lantas aku memusatkan pandanganku pada wajahnya. Dan ternyata kulihat seseorang yang sepertinya aku kenal. Naila.
“Naila?” kataku.
“Iya.” Katanya.
“Mau kemana?” tanyaku.
Ia nampak Bengong dan tidak langsung menjawab pertanyaanku. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Aku kurang mengerti.
“Hei!” seruku padanya agar ia tidak bengong.
“Eh, Iya,” katanya agak sedikit kaget.
Aku memberinya sebuah senyuman. Mungkin ia kaget melihatku dengan keadaan seperti ini. Aku mengerti. Tak apa.
“Kirain kamu bercanda bilang tukang kencleng, hehe,” ucapnya dengan penuh sipu.
“Eummmh. Kuharap kamu tidak menjadi takut padaku.”
“Haha. Enggaklah. Aku tahu kamu orang yang baik. Meski seorang preman.”
“Haha.”
Aku tertawa. Dan ia pun tertawa. Kuharap kenyataan ini tidak mengubah apapun diantara aku dan dia. Kuharap dia tidak terlalu takut padaku. Dan kuharap aku tidak terlalu baik padanya. Secara, aku preman.
“Eh? Udah jalan,” kataku. “Hati-hati ya!” lanjutku.
“Yoyoi, aku duluan,” katanya.
Kulihat tangannya teracung. Jari-jarinya ia bentuk salam metal padaku. Aku hanya tersenyum.
***
Waktu beranjak malam. Mungkin ba’da magrib. Sekitar pukul tujuh. Aku masih ditempat proyek perbaikan jalan. Tidak terlalu sibuk. Jalanan tidak seramai disiang hari.
“kringg.. Kringg..” Ada SMS masuk. Aku langsung membacanya.
“Hai, lagi apa? . Naila .” tertulis seperti itu didalam pesannya. Kemudian aku balas.
“Lagi dijalan. Nongkrong.”
“Sibuk ya?”
“Enggak. Lagi nyantai. Kendaraan sepi.”
“Boleh aku kesana?”
“Mau apa?” balasaku. Aku kaget. Kenapa ia mau datang ketempatku? Duh..
“Dirumah bete. Pokoknya aku mau kesana. Ya?”
“Bolehlah. Tapi aku gak tanggung jawab kalau kamu nanti jadi sakit gara-gara main di proyek jalan.”
“ :p ,” balasnya.
Aku tidak membalas smsnya lagi. Lagi pula aku tidak menganggapnya serius mau datang menemuiku. Secara, dia orang kaya. Perawakannya cantik. Dan tingkahnya lembut. Masa iya mau datang ketempat ararijid seperti ini.
Waktu berselang beberapa saat. Dering hapeku berbunyi. Ada telpon masuk. Dari Naila.
“Hai, dimana? Aku sudah sampai dilokasi. Deket warung pecel,” katanya.
“Hah? Yaudah tunggu, aku segera kesana,” kataku dengan penuh rasa bingung.
Kemudian sambungannya kami tutup. Aku lantas berpamitan pada rekan-rekanku untuk pergi ke warung pecel sejenak. Mungkin sekitar dua menit jalan kaki.
Nampak sebuah Toyota Yaris terparkir. kurasa itu adalah mobil yang sama dengan mobil yang Naila kendarai tadi siang. Aku kemudian menghampirinya.
“Hei!” Serunya kepadaku ketika aku berjalan menuju kearahnya.
“Hai,” balasku.
Kemudian ia turun dari mobil. Dan kami lantas mengobrol sejenak. Bagiku, ini adalah sesuatu yang sangat langka. Aku sangat jarang mengobrol dengan perempuan. Apalagi perempuan secantik dia. Perempuan yang menurutku seperti wajit cililin. Manis.
“Aku bete,” katanya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Banyak tugas numpuk,” paparnya.
“Eumh? Ya dikerjain dong tugasnya. Kalau didiemin malah akan jadi semakin banyak dan menumpuk bagaikan bom waktu yang akan meledak.”
“Masa sih?” tanyanya.
“Eumhh, mungkin,” jawabku.
“Heumm.”
Kita pun mengobrol. Mungkin hingga setengah jam berlalu. Hingga aku merasa aku harus segera bergabung bersama teman-temanku lagi.
 “Eh, pulang sana!” kataku tiba-tiba memotong obrolan.
“Lho? Kok gitu?” ia nanya heran.
“Udah malam. Didaerah sini banyak penjahat,” kataku lagi.
Sebenarnya ini hanya alasanku saja agar ia cepat pulang. Aku merasa tidak nyaman dengan keberadaannya. Bukan karena apa, melainkan karena aku memang tak biasa ngobrol dengan perempuan. Apalagi perempuan yang saat ini bersamaku adalah perempuan cantik, baik, dan kaya.
“Aku gak takut sama penjahat,” katanya.
“Heh! Penjahat disini pada sadis. Suka makan beling,” kataku.
“Udah kubilang, aku gak takut!”
“Penjahat disini bisa berubah jadi raksasa seperti di film ultraman.”
“Ih gak takut. Lagian, bersamaku kan ada seorang Preman. Jadi kalau ada yang usil, kamu yang lawan.”
“O tidak bisa. Soalnya aku mau ke jalan lagi. Mau ngencleng,” kataku.
“Yaudah aku ikut,” katanya.
“Jangan!” kataku.
“Ikut!”
“Jangan!” kataku lagi.
Kulihat ia terdiam. Cemberut. Mungkin itu kebiasaan anak manja. Baru dilarang sedikit malah cemberut. Tapi aku tak peduli. Lagipula aku tak begitu mengenalnya.
“Pulanglah! Udah terlalu malam,” kataku sembari beranjak pergi.

Bagikan: