Marzooqie - Alfiyah Ibnu Malik merupakan kitab yang disusun oleh seorang ulama besar bernama Jamaludin Muhammad Bin Abdullah Bin Malik. Beliau merupakan ulama kenamaan yang lahir di kota Jayyan Andalusia (Sekarang masuk dalam wilayah Spanyol). Dan sampai saat ini, kitab Alfiyah Ibnu Malik karangan beliau masih dipelajari diberbagai madrasah keilmuan sebagai rujukan utama dalam disiplin ilmu tata bahasa arab, khusunya di bidang Nahwu dan Shorof.
Namun tahukah anda? Bahwa dibalik kesuksesan Alfiyah Ibnu Malik sebagai mahakarya dalam bidang ilmu tata bahasa arab, ternyata ada sebuah kisah menarik yang mengiringi kehadirannya? Kisah ini patut disimak karena sungguh mengandung faidah dan hikmah.
Pada suatu hari, Syeikh Jamaludin Muhammad (sang pengarang Alfiyah) hendak membuat pendahuluan (muqodimah) terhadap kitab Alfiyahnya. Beliau khusyu merangkai kata demi kata hingga kemudian tersusun menjadi bait-bait muqodimah kitab Alfiyah. Namun entah kenapa ketika muqodimahnya sampai pada bait:
و أستعين الله في ألفية***مقاصد النحو بها محوية
Dan ku memohon pada Allah menjadikan Alfiyyah bisa mencakupi tujuan Ilmu Nahwu
تقرب الأقصى بلفظ موجز***و تبسط البذل بوعد منجز
Mendekatkan yang jauh dengan lafadz yang ringkas,
و تقتضي رضا بغير سخط***فائقة ألفية ابن معط
Yang menuntut keridloan tanpa kebencian, Yang meluhuri Alfiyahnya Ibnu Mu'thi
فائقة لها بألف بيت٭٭٭..............ه
Yang meluhuri dengan seribu bait, .......................
Tiba-tiba, jlebbb! Beliau merasa ngeblank. Pemikirannya seperti buntu untuk meneruskan potongan bait (فائقة لها بألف بيت) tersebut. Ia merasa kesulitan untuk menyempurnakan bait yang secara tidak langsung didalamnya ada sesuatu hal yang sifatnya meluhurkan Alfiyah karyanya sendiri dibanding Alfiyah karya Ibnu Mu’thi. Hingga tanpa sebab beliau menjadi buntu dalam berfikir.
Dan saat beliau tidur, tiba-tiba beliau bermimpi bertemu dengan sosok laki-laki tua yang berwibawa namun laki-laki itu tidak ia kenali. Beliau mengatakan pada laki-laki tua itu, “aku penadzom alfiyah”. Kemudian laki-laki tua itu memintanya memperdengarkan alfiyah tersebut. Lantas Syeikh Jamaludin pun membacakan bait-bait alfiyahnya. Namun ketika bacaanya sampai pada bait (فائقة لها بألف بيت) beliau tidak bisa melanjutkan.
Laki-laki tua berkata, “Ayo lanjutkan!”. Namun Syeikh Jamaludin tidak bisa melanjutkannya. Maka laki-laki tua itu pun menawarkan dirinya untuk melanjutkan bait Alfiyah tersebut. Dan Syeikh Jamaludin mempersilahkannya. Kemudian laki-laki tua melanjutkan dengan bait (semacam sindiran/mengingatkan)..
فائقة لها بألف بيت *** و الحي قد يغلب ألف ميت
Yang meluhuri dengan seribu bait, yang hidup terkadang suka menimpa seribu mayat
(Sebuah pengingat: kita tidak boleh menceramahi keilmuan orang terdahulu yang sudah meninggal. Karena orang meninggal tidak bisa memberi pembelaan.)
Dan plak! Syeikh Jamaludin tersadar bahwa laki-laki tua itu adalah Yahya Bin Mu’thi Bin Abdi Nur Az-Zawawi (Ibnu Mu’thi). Hingga akhirnya ia terbangun dari tidurnya. Dan langsung melanjutkan bait Alfiyahnya dengan menyusuli bait sebelumnya yang mengandung kesombongan. Ia melanjutkan dengan bait:
و هو بسبق حائز تفضيلا***مستوجب ثنائي الجميلا
Namun beliau memiliki keutamaan karena sebagai pendahulu, yang mesti mendapat sanjungan yang indah
و الله يقضي بهبات وافرة***لي و له في درجات الآخرة
Semoga Allah memberi lumuran hibah derajat akhirat untukku dan untuknya.
****************
Ringkasnya, Syeikh Jamaludin sempat mengagungkan Alfiyah karyanya dari pada Alfiyah yang sebelumnya pernah dikarang oleh Ibnu Mu’thi. Akibatnya beliau mendadak buntu untuk melanjutkan bait alfiyah miliknya. Namun setelah beliau bermimpi, dan sadar akan kekhilafannya, beliau langsung membuat bait lanjutan yang secara tidak langsung menghapus keluhuran sikap beliau yang ada pada bait sebelumnya.Hikmahnya,
- Kita tidak boleh menceramahi keilmuan orang terdahulu yang sudah meninggal. Karena orang meninggal tidak bisa memberi pembelaan. Dan bila pun ada kekurangan, itu adalah kewajaran karena keilmuan orang terdahulu pasti banyak keterbatasan dengan berbagai hal. Berbeda dengan generasi selanjutnya. Justru generasi selanjutnya harus berterimakasih terhadap orang terdahulu. Karena keilmuan terdahulu telah memberi dan membuka fondasi terhadap perkembangan keilmuan dimasa selanjutnya.
- Sadar tidak sadar, kita tidak boleh punya sifat berbesar kepala (sombong) sedikit pun. Karena hal tersebut dapat menghancurkan apa yang telah kita miliki. Kita mesti banyak bertafakur agar tidak terjerumus pada sifat sombong.
*) Jika ada kesalahan, mohon dikoreksi khususnya dalam menterjemah syair (bait)nya. Syukran,
Oleh Rifqi Marzooqie
di PP As-Salafiyah Mafazah Bandung Barat
21/01/2015
Gambar: http://abedine.com