TENTANG

Berita Terkini

Bola

ShowBiz

Bisnis



Topik Populer

Featured

Liputan9

Liputan9
Liputan9

KAJIAN ISLAMI

KATEGORI

Berita Terbaru

NAHDLATUL ULAMA

Follow Us

banner here

KONTEN TERBARU

TREN HARI INI

Filosofi Santri dan Enam Bab Tsulatsi Mujarrod

Ketika seseorang memutuskan untuk mondok di Pesantren, maka sebenarnya ia sedang mengikhlaskan dirinya untuk berjuang di ranah ilmu dan amal. Sebab setiap kebaikan, termasuk dalam menuntut ilmu, membutuhkan perjuangan. Tidak selamanya kebaikan dapat dijalani dengan mudah. Selalu saja ada hal-hal yang menjadi hambatan. Bagaikan mobil yang sedang melaju kemudian terhambat oleh jalanan rusak, macet, mogok, atau bahkan supirnya bermasalah sehingga mengakibatkan perjalanan tidak begitu mulus.

Begitupun santri, dalam menuntut ilmu tidaklah mudah. Karena seorang santri harus menjalani proses-proses yang rumit. Dimana proses tersebut akan sangat berliku, terdapat suka maupun duka. Namun bila semua proses tersebut dijalani dengan ikhlas dan sabar, akan ada buah yang bisa dicapai.

Filosofi Santri dan Enam Bab Tsulatsi Mujarrod

Coba kita simak kajian ilmu shorof tentang Bab Tashrif Tsulatsi Mujarrod, Didalamnya mengandung nilai filosofis mengenai proses-proses seorang santri dalam menuntut ilmu.

Sebagaimana kita ketahui, dalam ilmu shorof, terdapat bab-bab tashrifan. Dimana biasanya bab-bab tashrif tersebut dimulai dari tsulasi mujarrod yang memiliki enam bab. Dan dari keenam bab tersebut terdapat wajan serta maujun. Berikut ini adalah maujun tsulatsi mujarrod:

  1. Nashoro – Yanshuru - Nashron (artinya: pertolongan)
  2. Dloroba – Yadlribu – Dlorban (artinya: pukulan)
  3. Fataha – Yaftahu – Fathan (artinya: terbuka)
  4. ‘alima – Ya’lamu – ‘ilman (artinya: tahu)
  5. Hasuna – Yahsunu – Husnan (artinya: baik)
  6. Hasiba –Yahsibu - Hasaban (artinya: Hitungan)

Bila kita perhatikan urutan bab tashrif diatas, yaitu dari nashoro hingga hasiba, maka kita akan menemukan nilai filosofis berkaitan dengan proses seorang santri dalam menuntut ilmu. Dimana setiap santri pada awalnya akan melalui tahap pertama, yaitu melaui tahap nashoro sebagaimana urutan diatas. Yakni sebuah tahap pertolongan. Karena seorang santri yang baru memulai perjalanan mengaji akan sangat membutuhkan pertolongan. Ia mesti dibantu dan dibimbing agar menemukan kemudahan serta mendapatkan keringanan dalam memahami garis besar proses menuntut ilmu. Selain itu, pertolongan dalam membiasakan diri untuk hidup di pondok pun akan sangat ia butuhkan.

Setelah santri tersenut cukup mandiri dalam proses menuntut ilmu, serta tidak lagi terlalu tergantung pada pertolongan, selanjutnya seorang santri biasanya akan dihadapkan pada proses dloroba, artinya pukulan. Dimana santri akan menemui  banyak godaan dan cobaan. Ia akan dihadapkan pada masa-masa sulit bagaikan pukulan. Masa ini akan sangat genting karena kesabaran dan keistiqomahan diuji. Apabila seorang santri menyerah dalam tahap ini, maka bisa jadi ia akan memilih tamat mengaji dan keluar dari pondok.

Namun apabila ia mampu melalui segala cobaan serta mampu melewatinya dengan baik dan sabar, maka ia akan masuk pada tahap ketiga, yakni fataha, yang artinya terbuka. Ia akan dibukakan semua pintu keilmuan. Hingga kemudian ia akan mendapat berbagai kemudahan untuk mencapai tujuan.

Selanjutnya setelah ia dibukakan pintu-pintu keilmuan, maka ia akan masuk ke tahap ‘alima, yaitu tahap berpengetahuan. Semua itu adalah hasil dari kerja kerasnya. Hasil dari proses-proses yang tidak mudah dan begitu rumit. Namun begitulah, apabila seseorang sudah bersungguh-sungguh maka ia akan mendapatkan apa yang telah ia cita-citakan.

Namun, berilmu bukan berarti akhir dari proses mengaji. Justru seorang santri yang sudah berilmu harus bisa masuk ketahap hasuna, yakni tahap memperbaiki keilmuan. Adapun caranya yaitu dengan mengamalkan apa yang telah ia pelajari. Dan membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Apabila sudah berilmu dan terbiasa mengamalkannya, maka tidak boleh besar kepala dan tidak boleh menjadi orang yang angkuh. Sebab ilmu dan amal adalah sebuah kolerasi yang suci yang hanya bisa nampak kesuciannya apabila dimiliki oleh orang-orang yang memiliki akhlak mulia. Oleh karena itu seorang santri mesti masuk pada tahap hasiba, yakni tahap dimana seorang santri harus melakukan banyak perhitungan akan dirinya sendiri. Bermuhasabah dan menginstropeksi diri agar ilmu dan amalnya menjadi kemanfaatan. Selain itu, hal ini juga perlu agar seorang santri tidak terjerumus pada jurang kesombongan.

Oleh: Rifqi Marzooqie Bin KH. Amin B.
Riwayat: Yusuf Hamdani
PP As-Salafiyah Mafazah Bandung Barat
05/01/2015

Bagikan: